Home | News & Opinion | Market Data  
News & Opinions | Opinions

Thursday, May 26, 2011 13:47 WIB

Prospek Ekonomi Global Di Tengah Pengaruh Harga Komoditas

Myrdal Gunarto, Economist PT Indo Premier Securities
 
Dana Moneter Internasional (IMF) pada awal April ini merilis laporan tentang prospek perekonomian dunia terbaru. Laporan dengan judul "Tensions from the Two-Speed Recovery: Unemployment, Commodities, and Capital Flows" ini secara garis besar membahas kondisi ekonomi global yang berada dalam tahap pemulihan pasca krisis ekonomi 2008 lalu. Pemulihan ekonomi ini berlangsung tidak seragam di negara maju dan negara berkembang. Negara maju yang saat krisis 2008 lalu terkena dampak terbesar masih mengalami kesulitan untuk mengembalikan kembali perekonomiannya seperti saat sebelum krisis. Meski perekonomian perlahan mulai bangkit, kondisi kehidupan sosial di negara maju belum sepenuhnya normal. Ini terutama terjadi karena tingkat pengangguran yang masih tinggi. Kondisi ini terjadi seiring dengan investasi riil yang masih rendah, produktivitas ekspor yang belum sepenuhnya bangkit, belum lagi diperparah oleh tingkat utang yang membengkak.
 
Yang terjadi di negara maju berbeda dengan kondisi di negara berkembang. Limpahan likuiditas dari negara maju, sebagai imbas penerapan kebijakan moneter yang longgar, secara tidak langsung mengakselerasi pemulihan ekonomi di negara berkembang. Dengan menawarkan imbal hasil investasi yang lebih tinggi, perekonomian di negara berkembang terdorong oleh arus investasi yang deras, baik secara langsung maupun tidak langsung. Investasi langsung dari negara maju di negara berkembang telah mengakibatkan aktivitas riil di negara berkembang menjadi terdongkrak. Investasi riil yang lebih terfokus pada sektor manufaktur ini, ikut berperan meningkatkan produktivitas perekonomian negara berkembang. Tingkat konsumsi menjadi meningkat, kemudian diimbangi oleh permintaan yang tinggi terhadap produk komoditas, baik pangan maupun bahan baku industri.
 
Kenaikan permintaan produk komoditas yang berakibat pada lonjakan harga, berimplikasi terhadap arah kebijakan ekonomi di negara maju dan berkembang. Negara berkembang dengan ekonomi yang tumbuh pesat telah merasakan dampak yang signifikan dari kenaikan harga komoditas tersebut. Lonjakan harga komoditas, terutama komoditas pangan dan minyak, telah mengakibatkan lonjakan inflasi yang memaksa bank sentral di negara berkembang mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih ketat. Kebijakan untuk mengangkat bunga lebih tinggi dan pengaturan ketentuan cadangan minimum perbankan, merupakan dua pilihan terbaik yang dilakukan otoritas moneter di negara berkembang dalam mengendalikan inflasi. Selain itu, pemerintah di negara berkembang juga turut berpartisipasi melalui upaya langsung dalam pengaturan harga secara nasional.
 
Pun demikian dengan negara maju, lonjakan harga komoditas pangan dan minyak telah berakibat langsung pada perkembangan ekonominya. Meski masih cenderung lemah, konsumsi ekonomi di negara maju menjadi terganggu saat harga komoditas pangan dan bahan bakar meningkat. Keadaan ini memaksa banyak pihak di negara maju menyuarakan pendapat agar bank sentral segera mengubah arah kebijakan moneternya, dari cenderung longgar menjadi sedikit ketat.
 
IMF juga menjelaskan dampak jangka pendek goncangan harga minyak terhadap aktivitas perekonomian. IMF menjabarkan dua penyebab utama guncangan harga minyak, yaitu guncangan dari sisi permintaan dan guncangan dari sisi penawaran. Guncangan yang terjadi pada sisi permintaan terjadi saat harga minyak melonjak seiring dengan ledakan pertumbuhan ekonomi global. Meski mengalami lonjakan harga, efek dari guncangan ini diyakini IMF tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi terkontraksi tajam. Dampak berbeda akan dirasakan jika penyebab goncangan harga minyak berasal dari sisi suplai, terutama karena konflik internal yang terjadi di kawasan negara penghasil minyak utama dunia. Guncangan dari sisi ini diyakini mengakibatkan kemorosotan produktivitas perekonomian dunia.
 
Dampak jangka pendek lonjakan harga minyak karena konflik internal di kawasan negara produsen minyak dapat menghadirkan sikap penghindaran risiko dari pelaku bisnis dunia. Ketidakpastian prospek ekonomi yang disebabkan oleh guncangan harga minyak ini membuat pelaku bisnis, perusahaan maupun rumah tangga, menunda untuk melakukan aksi bisnis, seperti rekrutmen, penanaman modal, dan pembelian barang tahan lama. Kondisi ini dapat lebih buruk jika berimbas ke pasar keuangan yang berakibat pada penurunan jumlah likuiditas dan harga aset yang tajam. Selain itu, guncangan ini juga dapat berdampak pada realokasi faktor produksi yang berakibat pada pengurangan marjin keuntungan produsen produk berbasis minyak. Secara lebih luas, hal ini dapat berakibat pada kebangkrutan dalam jumlah lebih besar hingga seluruh perekonomian dunia.
 
Dengan latar belakang itu, IMF memprediksi ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 4,4% dan 4,5% pada tahun 2011 dan 2012. Ini dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang sebesar 5% serta kontraksi 0,5% pada 2009. Perekonomian dunia masih ditopang oleh aktivitas ekonomi negara berkembang yang diperkirakan tumbuh 6,5% tahun ini dan tahun depan. Prediksi IMF mengenai pertumbuhan ekonomi negara berkembang ini tidak mengalami perubahan dibanding prediksi sebelumnya pada Januari lalu. Pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang tinggi ini melanjutkan tren pertumbuhan tahun 2010 yang sebesar 7,3%, setelah pada tahun 2009 hanya berkembang 2,7%. Sementara, kondisi berbeda terjadi di negara maju. IMF memprediksi ekonomi negara maju hanya tumbuh 2,4% dan 2,6% pada 2011 dan 2012. Angka yang ditampilkan IMF ini mirip dengan prediksi sebelumnya.
 
Prediksi pertumbuhan ekonomi negara maju yang lebih rendah ini disebabkan oleh akselerasi ekonomi tiga negara maju yang diprediksi lebih lambat. Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 di Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Inggris diprediksi akan lebih rendah 0,2 ppts, 0,2 ppts, dan 0,3 ppts dibanding perkiraan sebelumnya, menjadi 2,8%, 1,4%, dan 1,7%. Inflasi yang meroket akibat kenaikan harga komoditas pangan dan bahan bakar minyak menjadi penyebab utama penurunan prediksi pertumbuhan ekonomi AS dan Inggris.IMF meyakini inflasi ini dapat menggerus konsumsi dua negara yang sedang mengalami kelesuan akibat krisis ekonomi tahun 2008. Pasar tenaga kerja yang belum pulih menjadikan daya beli konsumsi di dua negara itu menjadi tergerus. Terlebih, sektor manufaktur di dua negara itu masih belum menunjukkan peningkatan signifikan untuk mendorong perekonomian.


Sementara, penurunan estimasi pertumbuhan ekonomi Jepang lebih disebabkan oleh beban utang yang sangat tinggi di negara itu. Kebijakan fiskal yang ketat dalam mengurangi beban utang akan menekan pertumbuhan ekonomi Jepang lebih dalam lagi. Asumsi itu semakin dipertegas oleh dampak bencana gempa bumi dan tsunami. Meski demikian, IMF yakin ekonomi Jepang akan bangkit pada tahun 2012. Proses rekonstruksi ekonomi pasca gempa diyakini jadi fondasi utama untuk menaikkan prediksi pertumbuhan ekonomi Jepang tahun 2012 dari 1,8% menjadi 2,1%.
 
Sementara itu, perekonomian negara berkembang yang tumbuh tinggi masih ditunjang oleh geliat ekonomi negara berkembang di Asia seperti China, India, dan ASEAN-5. Ekonomi negara berkembang di Asia diprediksi tetap tumbuh tinggi, masing-masing sebesar 8,4% pada 2011 dan 2012. Perekonomian global yang mulai bangkit seiring dengan kenaikan harga komoditas dunia tetap mendorong ekonomi di negara berkembang Asia untuk tumbuh tinggi. Tren ini juga terjadi di negara pecahan Uni Soviet yang mayoritas menghasilkan komoditas alam seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. IMF memproyeksikan ekonomi di kawasan ini tumbuh 5% dan 4,7% pada tahun 2011 dan 2012, masing-masing naik 0,3 ppts dan 0,1 ppts dari proyeksi Januari lalu.
 
Meski demikian, inflasi yang mulai meroket akibat kenaikan harga pangan dan bahan bakar minyak membuat IMF menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi India tahun 2011 dan 2012, dari 8,4% dan 8% menjadi 8,2% dan 7,8%. IMF juga memprediksi penurunan lebih tajam pada pertumbuhan ekonomi kelompok negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Konflik internal yang melanda kawasan ini sejak Januari lalu menjadi dasar bagi IMF untuk menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2011 dan 2012 masing-masing sebesar 0,5 ppts menjadi 4,1% dan 4,2%.
 

Pada laporan ini, IMF juga mengendus kondisi ekonomi di beberapa negara berkembang yang mulai kepanasan. Ini terlihat dari hasil produksi yang sudah lebih tinggi dari rata-rata hasil produksi sebelum krisis ekonomi tahun 2008. Negara yang disebutkan IMF itu antara lain Argentina, Brazil, Indonesia, dan India. Indikasi ekonomi kepanasan yang melanda negara tersebut juga dipertegas IMF melalui indikator tingkat pengangguran yang lebih rendah dibanding rata-rata tingkat pengangguran periode 2002–2007, laju inflasi yang lebih tinggi dari target yang ditetapkan bank sentral masing-masing, dan arus modal yang mengalir deras, yakni di atas 150% dari rata-rata arus modal masuk sepanjang 2000–2007.

OTHER NEWS

copyright 2011 IPOTNEWS.com [Full Site]