Home | News & Opinion | Market Data  
News & Opinions | Opinions

Monday, October 17, 2011 11:34 WIB

Perlunya `Early Warning System` untuk Perberasan

Oleh: Makmun Syadullah*)

Pada tahun 1956 Prof Leon Mears dari University of Wisconsin, pernah menulis buku tentang ekonomi beras atas permintaan BULOG. Begitu pentingnya buku ini, pada tahun 1981 ditulis ulang. Catatan terpenting yang perlu dikemukakan. dari buku tersebut, bahwa berdasarkan hasil survey Prof Leon produksi beras yang dilaporkan Kantor Pusat Statistik (BPS) lebih rendah sekitar 9,5 persen dari angka aktual; dan faktor konversi dari gabah menjadi padi lebih tingi 5 persen dari yang sesungguhnya. Gabungan koreksi keduanya memberikan hasil akhir data produksi beras yang dilaporkan overestimate sekitar 8 persen.

Laporan produksi beras yang lebih rendah dari angka aktual menyebabkan seolah produksi beras di dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan. Dengan alasan inilah mungkin pemerintah pada waktu itu mengambil kebijakan melakukan impor beras. Ini terbukti satu tahun setelah buku Prof. Leon terbit, pemerintah melakukan impor beras.  Impor beras awalnya dilakukan oleh swasta. Sejak 1957 JUBM (Jajasan Urusan Bahan Makanan) melakukan impor beras dengan kontrak G to G. Perubahan prosedur impor masih menimbulkan banyak masalah seperti kualits beras impor yang rendah dan risiko politik bila terjadi kelangkaan beras di pasar.

Faktanya sekarang ini ketergantungan Indonesia pada impor beras sudah begitu tinggi. Setiap tahun, impor beras cenderung meningkat, bahkan sejak 1998 import beras telah mencapai sebesar 5,8 juta ton, dan 4 juta ton pada tahun 1999. Kondisi ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara importir beras terbesar di dunia. Ketergantungan impor beras ini sejatinya tidak terlepas dari kebutuhan dalam negeri yang amat besar; harga beras di pasar international yang rendah, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi; dan adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir.

Dalam kontek impor beras, ada dua hal yang menjadi pertanyaan, yakni benarkah kondisi perberasan kita sebegitu parah, sehingga pemerintah setiap tahun harus impor beras? Bagaimana efektivitas kebijakan  impor beras terhadap harga beras di dalam negeri? Dua pertanyaan ini sangat vital, mengingat jawaban inilah yang akan menjadi landasan pemerintah ke depan dalam mengambil kebijakan impor beras.

Kebijakan tidak efektif

Data perkembangan harga beras di Indonesia menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan apabila dibandingkan dengan negara-negara pengimpor beras terbesar, seperti Philipina, Bangladesh, China dan Vietnam, harga beras Indonesia adalah yang termahal. Berdasarkan data pada Food and Agriculture Organization (FAO), per Juni 2011 harga beras rata-rata di tingkat ritel di Indonesia mencapai USD 1,04/kg. Pada saat yang sama harga di Manila, berdasarkan Metro Manila - Rice (regular milled) – Retail hanya USD 0,69/kg, di Bangladesh berdasarkan National Average - Rice (coarse) – Retail  sangat murah sekali, yakni hanya USD 0,38/kg. Di Cina harga beras berdasarkan harga rata-rata di 50 kota untuk beras kualitas kedua pada tingkat ritel sedikit di bawah Indonesia yakni USD 0,83/kg dan di Vietnam harga beras berdasarkan Dong Thap - Rice (25% broken) – Retail hanya USD 0,41/kg. Sementara itu harga beras di Thailand sebagai negara tujuan impor Indonesia untuk jenis  Bangkok - Rice (25% broken) – Wholesale dijual seharga USD 0,44/kg.

Gambar: Perbandingan Harga beras di Berbagai negara



Sumber: FAO, diolah

Menarik untuk dianalisa lebih jauh, ternyata harga beras di dalam negeri tidak selalu berhubungan lurus dengan kebijakan impor beras. Kebijakan impor beras yang dimaksudkan untuk menstabilkan harga beras di dalam negeri secara nyata tidak efektif. Setidaknya hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan harga beras pada era 2008-2009. Pada periode ini pemerintah tidak melakukan impor beras, namun harga beras di Indonesia jauh lebih murah dibandingkan harga beras di Thailand yang notabene merupakan negara tujuan impor beras Indonesia. Berdasarkan data pada FAO, harga beras di Indonesia pada tahun 2008 mencapai USD 0,7/kg, sementara harga beras di Thailand sempat melambung tinggi yakni mencapai USD 0,8/kg.

Sementara pada tahun 2010 dan 2011 di saat pemerintah melakukan impor beras, harga beras di dalam negeri justru melambung tinggi, bahkan harga beras di Indonesia mencapai titik tertinggi di dunia. Harga beras di dalam negeri pada tahun 2010 mencapai USD 1,01/kg dan tahun 2011 (Juni) naik menjadi USD 1,09/kg. Padahal harga beras di Thailand pada tahun 2010 sangat murah sekali yakni hanya USD 0,45 per kg dan tahun 2011 (Juni) turun menjadi USD 0,43/kg.

Terlalu tingginya disparitas antara harga beras di Thailand sebagai negara tujuan impor beras Indonesia dengan harga beras di dalam negeri menunjukkan kegagalan tujuan kebijakan impor beras. Dengan mem-blending harga beras impor yang lebih murah, semestinya harga beras di dalam negeri akan semakin murah, namun faktanya harga beras justru menjadi yang termahal di dunia.

Kebijakan impor beras kini mengundang kecurigaan, seolah terjadi "politik perberasan". Sudah selayaknya pemerintah meninjau kembali kebijakan impor beras. Menurut data BPS, pada tahun 2010 Indonesia telah swasembada beras sebesar 5 juta ton, tahun 2011 diperkirakan surplus 4,3 juta ton dan tahun 2012 sebesar 10 juta ton. Sementara itu dalam periode Oktober 2010-April 2011 pemerintah telah melakukan impor beras 1,6 juta ton dan dalam periode Agustus 2011-Februari 2012 akan melakukan impor beras kembali sebesar 1,6 juta ton. Bahkan dalam konteks ini BULOG tengah mengajukan pembebasan atas bea masuk impor beras.

Sudah waktunya pemerintah perlu menyusun early warning system (EWS) perberasan. Melalui EWS dharapkan kondisi perberasan selalu terpantau dengan baik, sehingga akan membantu  dalam menetapkan kebijakan impor beras secara tepat dan akurat. Jangan sampai impor beras dilakukan disaat terjadi swasembada, karena akan melukai petani. Apalagi dalam impor BULOG selalu mendapat fasilitas pembebasan bea masuk impor beras. Masalah pembebasan bea masuk inipun perlu segera ditinjau ulang, karena hingga kini tidak jelas tingkat efektivitasnya. Jangan sampai negara  rugi dua kali, kebijakan impor tidak efektif dan negara berpotensi kehilangan pendapatan dari bea masuk.

--------------------------

*)Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Tulisan ini adalah pendapat pribadi

 

 




RELATED NEWS

OTHER NEWS

copyright 2011 IPOTNEWS.com [Full Site]