Home | News & Opinion | Market Data  
News & Opinions | Markets | Asuransi

Thursday, September 06, 2018 11:17 WIB

Momentum Borong Saham

Indeks saham Indonesia terjungkal dalam kemarin, terseret rupiah yang hampir menembus level psikologis 15.000 per dolar AS. Selain terus digoyang bejibun sentimen negatif eksternal, kemerosotan rupiah diperparah persepsi pasar yang mencemaskan pembengkakan current account deficit (CAD) di dalam negeri.

Defisit transaksi berjalan atau CAD kita memang melebar, menembus US$ 8 miliar atau 3% produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2018, dibanding periode sama tahun lalu 1,96% PDB. Bank Indonesia (BI) memprediksi, defisit transaksi itu mencapai US$ 25 miliar tahun ini, melonjak dari tahun 2017 sekitar US$ 17,3 miliar.

Jika sebelumnya CAD masih terkendali karena transaksi jasa yang deficit bisa tertolong ekspor yang surplus, tahun ini justru neraca perdagangan defisit banyak. Badan Pusat Statistik mencatat, defisit perdagangan RI mencapai US$ 3,09 miliar pada Januari-Juli 2018, padahal periode sama tahun lalu surplus hingga US$ 7,39 miliar.

Meski demikian, sebenarnya fundamental ekonomi dan kondisi fiscal Indonesia masih cukup baik, bahkan di sejumlah hal mengalami perbaikan. Fitch Ratings juga baru saja mengukuhkan peringkat utang RI di level investment grade, alias layak investasi.

Keputusan lembaga pemeringkat internasional papan atas itu terutama didukung beban utang pemerintah RI yang relatif rendah. Faktor lain, prospek pertumbuhan ekonomi cukup baik, di tengah tantangan eksternal akibat masih tingginya ketergantungan pada pembiayaan eksternal. Fitch juga menilai positif langkah BI menaikkan suku bunga acuan, guna menahan depresiasi rupiah dan membendung arus modal keluar. Respons terhadap penularan dari tekanan pembiayaan eksternal di pasar-pasar negara berkembang tersebut dinilai menunjukkan tekad kuat untuk memastikan stabilitas, meski suku bunga yang lebih tinggi bisa mengorbankan pertumbuhan PDB.

Pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan masih bisa menguat ke level 5,2% pada 2019 dan 5,3% pada 2020, dari proyeksi realisasi tahun ini 5,17%. Inflasi juga terjaga rendah, sebesar 3,20% secara tahunan per Agustus lalu, atau 2,13% secara tahun kalender (Januari–Agustus 2018).

Di Bursa Efek Indonesia (BEI), fundamental emiten-emiten kita juga masih kuat. Banyak emiten memastikan tetap ekspansi tahun ini. Artinya, rontoknya kurs rupiah terhadap dolar AS belakangan ini lebih disebabkan buruknya persepsi pasar terhadap ekonomi Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera menjelaskan kondisi riil ekonomi Indonesia yang tidak separah persepsi pasar, secara transparan, detail, benar, dan humble. Pemerintah harus cerdas meyakinkan investor maupun masyarakat luas, bahwa kondisi saat ini jauh lebih baik disbanding krismon tahun 1998.

Selain kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat, APBN makin sehat dan stabilitas sistem keuangan dalam kondisi baik. Presiden dan jajaran menteri harus segera mengadakan pertemuan dengan para pelaku pasar maupun lembagalembaga keuangan yang kredibel. Pertemuan dengan investor, fund manager atau pengelola dana di pasar, analis, lembaga pemeringkat internasional, pengusaha, hingga tokoh-tokoh keuangan dunia harus sering dilakukan, secara rutin, intensif, dan segera ditindaklanjuti di lapangan. Jangan ada dusta di antara kita.

Semua langkah yang diperlukan untuk memperbaiki CAD dan memperkuat stabilitas rupiah harus segera dikerjakan dan dituntaskan, bersama-sama dan bersinergi antara pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Perbaikan ini tak hanya dilakukan di saat krisis, namun terus dilanjutkan untuk memperkokoh struktur ekonomi kita, menuju negara maju. Pemerintah juga tidak perlu panic dengan justru membuat kebijakan kontraproduktif. Pemerintah harus lebih mendengarkan keluhan pengusaha, menggandeng, dan meyakinkan mereka untuk terus berinvestasi dan membawa modalnya pulang.

Untuk itu, sorotan Kadin Indonesia bahwa kebijakan baru pemerintah menaikkan bea masuk (BM) impor justru menghambat kemajuan ekonomi, harus diperhatikan! Daripada mempersalahkan pengusaha maupun faktor eksternal, lebih baik pemerintah fokus memikat investor dan semua komponen bangsa untuk bersama-sama menyehatkan ekonomi.

Ini termasuk mendorong investor local masuk pasar saham kita, yang fundamental emitennya masih bagus, masih bisa mencetak laba. Apalagi, sejatinya masyarakat kita masih banyak yang punya uang, yang ditandai dengan laju pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di bank yang lebih stabil, di tengah penyesuaian tingkat bunga. Lembaga Penjamin Simpanan memproyeksikan, simpanan masih bisa naik 7-8% hingga akhir 2018. Hal ini, antara lain, karena masyarakat masih cenderung menahan investasi dan lebih memilih menyimpan dana di tengah meningkatkannya ketidakpastian.

Di sisi lain, sejumlah pengelola dana besar juga masih terhambat kendala peraturan untuk berinvestasi di pasar modal. Hal ini misalnya disuarakan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), yang memiliki total investasi senilai Rp 453,06 triliun per Juni 2018.

AAJI meminta OJK menurunkan batas minimal portofolio investasi pada instrumen surat berharga negara (SBN) dari saat ini 30% menjadi 15-20%, agar investasinya ke instrumen lain lebih fleksibel, termasuk ke reksa dana, saham, dan obligasi korporasi. Apabila industri asuransi jiwa tetap diharuskan memenuhi aturan 30% investasi pada SBN, maka tidak bisa membantu dari sisi yang lain.

Jika pun tujuan mewajibkan asuransi jiwa menempatkan investasi di SBN agar bisa mendukung pemerintah membangun infrastruktur, hal itu juga sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, melalui penempatan investasi di reksa dana ataupun melalui Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP).

Di saat harga saham sekarang sudah murah tertekan persepsi negatif pasar, OJK dan pemerintah harus segera mempermudah pengelola dana dan investor untuk masuk pasar. Saat ini justru menjadi momentum investor lokal untuk memborong saham-saham pilihan, buy on weekness. (*)

copyright 2011 IPOTNEWS.com [Full Site]