Home | News & Opinion | Market Data  
News & Opinions | Industries | Property

Thursday, November 14, 2013 11:04 WIB

Apa yang Harus Dilakukan Ketika Berurusan dengan Pengembang Nakal?

Praktik pengembang properti nakal di Indonesia banyak ragamnya. Bahkan ada kasus pengembang yang membawa kabur uang muka konsumen, namun rumah atau apartemen yang dijanjikan tak kunjung dibangun.

Apa yang harus dilakukan konsumen apabila berurusan dengan pengembang nakal?

Untuk saat ini, konsumen tidak bisa mengadukan masalah tersebut kepada siapapun melainkan menempuh jalur hukum. Apalagi pengembang nakal tersebut adalah pengembang independen yang tidak tergabung dalam asosiasi pengembang, namun risikonya harus menempuh proses lama.

"Nggak bisa ke mana nyarinya, ya jalur hukum ke pengadilan," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda kepada detikFinance Kamis (14/11/2013)

Menurutnya Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) pun selaku pemerintah yang beregrak di sektor perumahan dan properti tidak bisa melakukan apa-apa bila terjadi kasus seperti itu.

"Bisa ngadu ke Kemenpera, tapi Kemenpera nggak ada kapasitas untuk nyari siapa," lanjutnya.

Ali mengingatkan sebaiknya konsumen jeli dalam menentukan pengembang perumahan sebelum membeli rumah atau apartemen. Sebaiknya, pengembang yang dipilih adalah pengembang yang tergabung dalam sebuah asosiasi.

Kasus keterlambatan pembangunan rumah atau lebih parahnya rumah tidak dibangun dan uang raib umumnya dilakukan oleh pengembang nakal, biasanya skala kecil. "Ada yang kayak gitu, pengembang kecil," jelas Ali.

Sementara itu, Pakar Hukum Properti Erwin Kallo mengatakan prilaku kecurangan pengembang yang terkait dengan pelanggaran perjanjian pembelian bisa masuk kategori wanprestasi yang menjurus pada hukum perdata. Sanksi atau denda tertuang dalam perjanjian jual beli rumah dan properti antara pembeli dan pengembang.

"Hukumnya sama saja apartemen atau bukan. Kalau serah telat developer kena wanprestasi. Kalau nggak sesuai spek itu kena wanprestasi juga," ucap Erwin.

Ia menuturkan umumnya pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang seperti memainkan spesifikasi bangunan yang berbeda dari saat awal ditawarkan. Selain itu ada juga masalah penyelesain bangunan perumahan dan apartemen yang terlambat, padahal konsumen telah melakukan pembayaran kredit rumah.

"Banyak ditemui kejadian seperti kebanyakan konsumen masalah waktu serah terima dan masalah spesifikasi," jelas Erwin.

Menurutnya batas penyelesain perumahan tapak (landed house) dan apartemen berbeda. Untuk apartemen maksimal pembangunan fisik selesai 18 bulan setelah pembayaran uang muka.

"Konsumen juga harus hati-hati, ada jangka waktu kapan selesai barang itu. Kalau apartemen 18 bulan sejak DP barang harus jadi. Bangunan nggak bertingkat itu 10 bulan. DP nggak harus barang ada. Kalau sudah bayar nggak ada bangunan pengembang salah," katanya.

Meskipun ia mengakui konsumen di Indonesia dinilai tidak bisa berbuat banyak ketika menghadapi permainan nakal dari pengembang. Misalnya persoalan penyelesaian fisik bangunan yang molor, bangunan tidak sesuai spesifikasi, hingga fasilitas tidak lengkap.

"Kamu salah terus mau apa? Mau wanprestasi? Memang kenapa? Apa yang bisa dilakukan oleh konsumen? Selain marah-marah ke pengadilan? Harga rumahnya berapa? Artinya di sini yang membuat sisi konsumen lemah," ucap Erwin.

Bagi konsumen yang menang di pengadilan, prosesnya bakal memakan waktu dan biaya tinggi. .

"Kalau ini bermasalah. Ini developer mau mengembalikan duitnya? Konsumen jarang mau. Kenapa? Memang faktanya harganya naik. Ada apartemen harganya Rp 700 juta, 3 tahun lalu. Sekarang mau dibatalin nggak mau karena harganya Rp 1,5 miliar," katanya.

Ia juga mengatakan lembaga perlindungan konsumen pun tidak bisa berbuat banyak karena sebatas mengedukasi namun tidak menyentuh pokok perselisihan antara pengembang dan konsumen.

"Kalau berdasarkan NGO atau LSM kan nggak ada upaya paksa hanya sebatas nasehat," jelasnya.

Erwin menambahkan terkait proses gugatan di pengadilan, prosesnya sejak awal gugatan hingga putusan akhir bisa memakan waktu cukup lama bahkan bisa mencapai 4 tahun.

"Dia telat nih kita gugat. Prosesnya berapa lama? Orang prosesnya 4 tahun kok. Logikanya dimana. Itu pastilah lebih dari 1 tahun. Sampai Mahkamah Agung dan PK," katanya.

Meskipun mengajukan gugatan ke pengadilan, seorang konsumen belum tentu bisa memanangkan perkara. Padahal konsumen telah mengeluarkan dana cukup tinggi dan menghabiskan waktu lama menjalani proses gugatan ini

"Itu persoalannya. Belum tentu menang pula," sebutnya.

Ia mengungkapkan tren permainan nakal yang umumnya dilakukan oleh pengembang kecil ini terus meningkat, namun pada kenyataannya konsumen enggan membawanya ke pengadilan.

"Tren perselisihannnya banyak tapi banyak yang nggak ke pengadilan. Konsumen tahu tapi dia hitung-hitungan. Kalau ini nggak diselesaikan emang kenapa? Sudah bayar Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Mau ke pengadilan. Pengadilan di Indonesia itu lama dan mahal," tegasnya.

Sehingga kuncinya yang paling penting adalah bagaimana kehati-hatian seorang konsumen saat akan bertransaksi properti, dengan mendalami informasi sebanyak-banyaknya sebelum mengambil keputusan.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan untuk kasus pelanggaran perjanjian, pengembang bisa dikenakan denda atau wanprestasi. Namun ketika tidak menemui titik temu, masyarakat bisa melaporkannya ke asosiasi hingga Kementerian Perumahan Rakyat sebagai regulator.

"Seharusnya ke developer kalau tidak, baru ke Kementerian Perumahan Rakyat. Sama Apersi (Asosiasi Perumahan dan Permukiman Indonesia) atau REI (Real Estat Indonesia)," kata Tulus.



Sumber: detikcom

RELATED NEWS

OTHER NEWS

copyright 2011 IPOTNEWS.com [Full Site]