Tiga Alasan Mengapa Orang Memilih untuk Mengerjakan Sendiri (Do It Yourself) Perencanaan Keuangannya
Wednesday, March 13, 2024       14:02 WIB

Ada orang yang lebih suka menyerahkan urusan perencanaan keuangannya kepada pihak lain yang dianggap profesional di bidangnya, tetapi ada pula yang lebih suka mengerjakan sendiri urusan perencanaan keuangannya. Di bawah ini, kita akan mencoba memahami mengapa ada orang-orang yang lebih suka untuk mengerjakan sendiri ( do it yourself ) perencanaan keuangan. Jadi, dalam hal ini, subjek perencanaan keuangan itu sekaligus juga berfungsi sebagai penasehat keuangan ( financial advisor ) untuk dirinya sendiri.
1. Biaya (fee) perencana keuangan dianggap terlalu mahal
Biaya perencanaan keuangan, biasanya berkisar antara 0,5% sampai dengan 2,0% dari nilai aset yang dimiliki oleh subjek perencanaan keuangan yang 'diserahkan' kepada perencana keuangan ( financial planner ) untuk mendapatkan 'nasehat' keuangan ( financial advice ). Perlu diingat bahwa subjek perencanaan keuangan mungkin memiliki aset atau harta lebih banyak, tetapi tidak semua hartanya itu diikut-sertakan dalam perencanaan keuangan yang dibuat oleh perencana keuangan ( financial planner ).
Selain imbalan jasa ( fee ) yang dihitung sebagai persentase dari kekayaan subjek perencanaan keuangan, biasanya perencana keuangan mengenakan juga biaya tetap ( fixed ) setiap bulan, dan biaya konsultasi untuk setiap diskusi perencanaan keuangan secara tatap muka ( off line ) yang dihitung per jam konsultasi.
Jasa perencanaan keuangan biasanya dibagi lagi atas tujuan perencanaan keuangan, misalnya ada perencanaan keuangan yang khusus membahas masalah investasi ( investment planning ), atau khusus masalah pendidikan, atau khusus masalah asuransi ( insurance planning ). Jika menyangkut masalah perencanaan investasi, perlu diperhatikan bahwa seorang perencana keuangan yang hanya memiliki lisensi CFP ( Certified Financial Planner ), atau CFA (Chartered Financial Analys) saja, tidak boleh bertindak sebagai manajer investasi untuk Anda.
Jadi, tidak benar jika Anda kemudian menyerahkan harta Anda untuk dikelola oleh perencana keuangan itu. Seorang perencana keuangan hanya dapat bertindak sebagai Manajer Investasi atas harta kekayaan Anda apa bila ia memiliki lisensi WMI (Wakil Manajer Investasi) dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Jika Anda menyerahkan harta Anda untuk dikelola oleh perencana keuangan yang memiliki lisensi WMI dari OJK pun, Anda harus memperhatikan biayanya. Jika harta Anda diinvestasikan ke dalam reksadana atau sarana investasi lain yang juga mengenakan biaya jasa manajemen ( management fee ), maka harta Anda itu akan dikenakan dua kali biaya, yaitu pertama manajemen  fee  yang Anda bayarkan kepada Manajer Investasi reksadana, dan kedua adalah  fee  yang Anda bayarkan kepada perencana keuangan.
2. Tidak ingin melepas kontrol atas masalah keuangan kepada orang lain
Kontrol atas aset yang dimiliki merupakan masalah yang cukup pelik, hanya sedikit orang yang bersedia melepaskan kontrol itu kepada orang lain. Semakin besar harta yang dikelola pihak lain, maka makin besar resiko yang dihadapi pemilik harta itu bahwa pihak lain tersebut tidak akan bertindak untuk sebesar-besarnya kepentingan pemilik harta saja.
Sebagai contoh, walau pun pemegang gelar CFA (charter-holder) harus menerapkan  code of ethics  yang sangat ketat, pemegang gelar CFA pun bisa berkelit kalau menyangkut masalah etika investasi yang ada di area abu-abu.
Masalah etika bisa muncul misalnya ketika seorang perencana keuangan harus memilih menempatkan harta dari subjek perencanaan keuangan ke dalam dua tipe investasi yang menawarkan imbal hasil dan resiko yang berbeda. Katakanlah salah satu investasi tersebut ada pada saham yang dijual ke publik, dan satu lagi merupakan investasi  non-public  yang informasinya tidak tersedia lengkap.
Sekali pun perencana keuangan Anda adalah seorang yang memiliki lisensi CFA, CFP, dan juga WMI, Anda sebaiknya membatasi wewenang perencana keuangan itu sebatas memberi nasehat keuangan saja (i.e. bertindak sebagai  financial advisor  saja, di mana setiap tindakan investasi harus melalui tanda tangan Anda sendiri).
3. Tidak percaya pada kemampuan perencana keuangan
Jasa perencana keuangan sering dipakai ketika orang hendak membuat perencanaan investasi ( investment planning ), karena urusan investasi terkadang dirasakan sangat rumit oleh pemilik harta. Mungkin perencana kauangan dianggap lebih tahu tentang masalah investasi ini dibandingkan orang awam.
Seorang perencana keuangan mungkin memiliki lisensi CFP atau bahkan CFA sehingga lebih mengerti ( well-informed ) tentang produk-produk investasi terbaru yang ada di pasar. Tetapi, tetap harus dipahami bahwa produk-produk investasi juga terus berevolusi, dan jarang ada perencana keuangan yang menguasai semua produk investasi dengan sama baik.
Penulis sendiri mendapatkan lisensi WMI pada tahun 1997, lisensi CFA pada tahun 2004, dan lisensi CFP pada tahun 2010. Penulis juga merupakan orang yang pertama membuat reksadana Bursa (ETF) di Indonesia pada tahun 2007. Tetapi, penulis tidak berani mengaku seratus persen paham atas semua produk investasi yang ada di pasar saat ini.
Misalnya dulu kami ingin menerbitkan produk LQ45 futures, sebagai komplemen dari produk ETFyang telah diterbitkan sebelumnya. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, kami menyadari bahwa ternyata kami tidak memiliki sistem pengendalian resiko ( risk management ) yang memadai sehingga produk ini dapat membahayakan kelangsungan hidup Perusahaan, dan rencana penerbitan LQ45 Futures ini tidak dapat dilanjutkan.
Jadi, untuk menerbitkan suatu produk investasi baru, terlebih yang melibatkan produk-produk turunan ( derivatives ), seperti  futures, option , atau  swap , diperlukan pengetahuan yang lebih baik dari sekadar mengerti tentang mekanisme transaksi produk itu sendiri.
Sebagai contoh, penulis pernah menjadi anggota komite investasi di BEI (Bursa Efek Indonesia) untuk dua periode. Suatu waktu, BEI ingin merevitalisasi produk  futures  dan KOS (Kontrak Opsi Saham) yang pernah diterbitkan oleh BEI (tapi tidak berjalan dengan baik). Saat itu, penulis ditanya oleh seorang kawan di BEI, mengapa produk derivatif di BEI tidak jalan?
Jawaban penulis sederhana saja (tetapi solusi untuk membuat produk  futures  dan KOS itu jalan tetap tidak mudah): derivatif di BEI tidak jalan (tidak likuid) karena BEI hanya mempertemukan spekulator dengan spekulator yang lain. Sementara itu, produk derivatif sejatinya dibuat untuk memenuhi satu tujuan, yaitu mengeliminasi resiko. Pernyataan ini perlu penjelasan lebih lanjut untuk bisa dimengerti orang awam.
Pada dasarnya, produk derivatif akan berfungsi dengan baik (mengeliminasi resiko) jika produk itu bisa mempertemukan dua pihak, yaitu: pihak pertama adalah pemilik resiko (yang ingin mengeliminasi resiko tersebut), dan pihak kedua adalah pihak yang bersedia menanggung resiko tersebut (dengan imbalan tertentu). Pihak pertama ini adalah  hedger , biasanya berbentuk korporasi besar, yang karena bisnisnya atau hal-hal lain memiliki resiko yang tidak ingin ditanggungnya dan ingin dieliminasi atau dilindung-nilai ( hedge ) olehnya. Pihak kedua ini adalah  speculator , umumnya berupa individu yang bersedia mengambil (menanggung) resiko milik  hedger  dengan imbalan tertentu.
Jadi, supaya produk derivatif yang dibuat oleh BEI bisa diminati orang (likuid), maka produk ini harus bisa mempertemukan  hedger  dengan  speculator , bukan hanya mempertemukan  speculator  vs  speculator  yang lain. Hal ini yang terjadi BEI, yaitu tidak ada korporasi ( hedger ), semua pemain adalah individu ( speculators ).
Contoh resiko bisnis yang ingin dilindung nilai ( hedge ) oleh pihak korporasi adalah resiko fluktuasi mata uang asing hasil ekspor. Sebaliknya, pihak individual yang merupakan spekulator di sini, sebelumnya tidak ada urusan apa pun dengan resiko fluktuasi mata uang asing tersebut. Pihak spekulator hanya bersedia menanggung resiko ini karena dijanjikan suatu imbalan yang menarik dari transaksi derivatif ini.
Apakah semua pihak yang terlibat transaksi derivatif ini telah mengerti resiko yang ada? Saya meragukan bahwa pihak spekulator, yang nota bene adalah individu sungguh-sungguh mengerti resiko transaksi ini. Bahkan pihak BEI pun, sebagai pihak penyelenggara (bursa) yang mempertemukan  hedger vs speculator  pun ternyata belum benar-benar paham akan resiko transaksi ini.
Lalu, apakah Anda pernah bertemu dengan pihak perencana keuangan yang menganjurkan ( advise ) Anda untuk bertransaksi  option, futures , atau  swap ? Saran saya, jika Anda menemui seorang perencana keuangan yang menganjurkan Anda untuk membeli produk derivatif, Anda harus benar-banar meneliti apakah perencana keuangan tersebut benar-benar mengerti apa yang diucapkannya.
 Oleh : Fredy Sumendap, CFA 

Sumber : IPS
An error occurred.