Mata Uang EM Asia Kehilangan Arah, Investor Menunggu Rilis Data Pekerjaan AS
Friday, February 07, 2025       16:02 WIB

Ipotnews - Mata uang  emerging market  Asia berjuang mencari arah. Investor global berhati-hati dalam mengambil posisi sebelum rilis data pekerjaan AS, Jamt ini yang akan memberikan petunjuk baru mengenai arah kebijakan Federal Reserve ke depan.
Indeks Dolar Asia Bloomberg bertahan di dekat level terendah dua minggu. Laman Bloomberg, Jumat (7/2) melaporkan, pergerakan seluruh kelompok aset tersendat menjelang rilis data penggajian AS. Peso Filipina mengungguli pasar, menuju minggu terbaiknya sejak Desember karena relatif terisolasi dari risiko tarif, menurut HSBC Plc.
Sebelumnya para trader sudah terpukul oleh pengumuman kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan membebani pertumbuhan dan inflasi secara global. Wawancara Bloomberg dengan Menteri Keuangan Scott Bessent menyebutkan bahwa ia mendukung dolar yang kuat dan tidak memiliki rencana untuk mengubah rencana penerbitan surat utang pemerintah.
"Pasar untuk hari ini tampaknya akan memantau perkembangan yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan Trump mengenai perdagangan dan suku bunga sambil menunggu data pekerjaan AS, membuat pasangan mata uang USD-Asia secara umum bergerak mendatar," kata Alan Lau, pakar strategi mata uang di Malayan Banking Bhd. "Kami tetap berhati-hati," mengingat ketidakpastian kebijakan AS, imbuhnya seperti dikutip Bloomberg.
Mata uang EM Asia telah menghadapi masa-masa sulit sejak terpilihnya kembali Trump pada November lalu, karena kebijakan-kebijakannya diperkirakan akan mendorong inflasi dan mempertahankan suku bunga AS lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama. Indeks dolar Bloomberg Asia membukukan kerugian tahunan keempat berturut-turut pada tahun 2024 dan hanya naik 0,3% sepanjang tahun ini.
Sejumlah bank sentral telah menggunakan intervensi pasar mata uang untuk membatasi penurunan nilai tukar mereka. Data pada hari Jumat menunjukkan cadangan devisa Indonesia naik ke level tertinggi baru sebesar USD156,1 miliar bulan lalu, karena penerbitan obligasi dan pendapatan pajak mengimbangi biaya kebijakan-kebijakan untuk menstabilkan rupiah. (Bloomberg)


Sumber : admin