Tiga Kelas Aset Untuk Membentuk Pendapatan Pasif
Monday, November 21, 2022       16:51 WIB

Tujuan membuat perencanaan pensiun adalah merencanakan saat kita dapat berhenti bekerja (pensiun) dan hidup dengan nyaman menikmati hari tua. Masa pensiun seharusnya adalah saat di mana kita telah mencapai kebebasan finansial dan dapat melakukan hal-hal lain untuk mewujudkan aktualisasi diri.
Kita misalnya ingin mencoba berusaha (wiraswasta) sewaktu lulus kuliah dulu, tapi terhambat karena saat itu tidak memiliki uang (modal) dan harus mengumpulkan modal terlebih dahulu. Atau kita ingin lebih banyak memiliki waktu luang untuk berolah-raga dan mengurus kesehatan.
Pada saat pensiun, kita telah berhenti dari pekerjaan rutin (yang mungkin membosankan tapi tetap harus kita jalani setiap hari untuk membiayai kehidupan sehari-hari). Dengan kata lain, kita hanya hidup dari dana pensiun yang telah kita kumpulkan selama kita aktif bekerja.
Menggunakan bahasa yang sederhana, masa pensiun dapat dimulai ketika penghasilan pasif ( passive income ) kita telah lebih besar daripada pengeluaran-pengeluaran ( expenses ) selama masa pensiun. Tetapi, memastikan bahwa penghasilan pasif kita akan terus menerus tersedia, dalam jumlah yang lebih besar daripada biaya-biaya selama masa pensiun, seperti yang sudah kita bahas dalam artikel sebelumnya, terbukti bukan hal yang mudah.
Banyak perhitungan-perhitungan penghasilan pasif kita hanya berasal dari asumsi saja. Misalnya, asumsi tingat pengembalian ( return ) portofolio dan tingkat inflasi yang harus dibuat pada saat perencanaan pertama kali dibuat, hingga masa pensiun, dan berlanjut hingga tiga puluh tahun (atau lebih) masa pensiun kita.
Kemudian asumsi atas besarnya pengeluaran selama masa pensiun, terutama tingkat inflasi atas biaya hidup dan tingkat biaya perawatan kesehatan selama masa pensiun (tiga puluh tahun atau lebih).
Ada tiga macam kelas aset yang dapat dipakai untuk menghasilkan penghasilan pasif , yaitu (1) bisnis (usaha), (2) properti (real estate), dan (3) aset tak berwujud ( paper assets  atau  intangible assets ). Dengan memiliki kelas aset yang berbeda dari  paper assets , kita sebenarnya menjadi tidak terlalu terdampak oleh inflasi.
Misalnya, pendapatan dari asset bisnis (usaha) dan pendapatan sewa properti ( real estate ) akan naik seiring kenaikan inflasi. Tetapi, banyak perencana keuangan ( financial planner ) hanya berbicara tentang aset tak berwujud (saham, obligasi, reksadana dan ETF) pada waktu berbicara tentang perencanaan keuangan, seakan-akan aset tak berwujud adalah satu-satunya kelas aset yang tepat untuk perencanaan keuangan.
Hal ini dapat dimengerti karena, pertama, para perencana keuangan ( financial planner ) sebagian besar adalah profesional di bidang keuangan yang kemudian beralih pekerjaan, baik purna waktu maupun paruh waktu, menjadi perencana keuangan.
Seorang perencana keuangan misalnya, sebelumnya adalah karyawan bank komersial, pialang saham atau pialang obligasi (broker) perusahaan sekuritas, tenaga penjual reksadana dari perusahaan pengelola dana, atau agen asuransi jiwa.
Sebagai profesional di bidang keuangan, tentu saja pengetahuan terbaik para perencana keuangan ini adalah tentang aset tak berwujud ( intangible assets  atau  paper assets ), dan bukan bisnis (usaha) atau aset properti ( real estate ).
Kedua, asset tak berwujud umumnya likuid (mudah diperjual-belikan) dan nilainya dapat dipecah-pecah atas jumlah yang lebih kecil sehingga mudah untuk dibeli oleh pemodal kecil yang hanya memiliki dana terbatas. Aset tak berwujud juga mudah untuk dijelaskan kepada pemodal kecil, misalnya tentang pembagian aset (alokasi aset) dalam portofolio menjadi kelas aset ekuitas, pendapatan tetap, dan pasar uang.
Bayangkan kesulitan yang terjadi misalnya Anda harus menjelaskan tentang alokasi aset ini menggunakan aset bisnis atau aset properti ( real estate ).
Pada artikel sebelumnya kami bahkan telah mengatakan bahwa idealnya setiap orang yang membuat perencanaan pensiun menggunakan ketiga kelas aset ini untuk menghasilkan pendapatan pasif. Kelas aset bisnis (usaha) dapat dipakai untuk merepresentasikan aset ekuitas, kelas aset properti dapat dipakai untuk merepresentasikan aset pendapatan tetap.
Tentu saja hal ini sulit terjadi dalam kehidupan nyata. Tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Misalnya seorang pengusaha yang di samping memperoleh penghasilan dari bisnisnya (usaha), ia juga menyewakan properti miliknya, dan juga berinvestasi pada bermacam aset tak berwujud, seperti saham-saham, obligasi, dan deposito,
Tujuan orang melakukan diversifikasi sumber dana pensiunnya adalah supaya ia tetap memiliki aliran dana pensiun pada saat sumber dana pensiun yang lain terhenti. Tentu saja, ini adalah kasus yang jarang terjadi, dalam arti hanya beberapa orang super kaya yang dapat berinvestasi pada aset bisnis, aset properti, dan aset tak berwujud pada waktu yang bersamaan.
Seorang karyawan tentu tidak mungkin bisa sekaligus menjadi pebisnis, atau seorang karyawan yang baru mulai menabung dana pensiunnya tentu belum memiliki cukup dana untuk membeli aset properti. Tetapi, pada skala yang lebih kecil, kita tetap dapat berinvestasi pada ketiga aset ini, yaitu aset bisnis, aset properti, dan aset tak berwujud.
Memiliki aset bisnis tanpa perlu terlibat banyak dalam kegiatan usaha sehari-hari misalnya dengan membeli gerai ( franchise ) alfamart, indomart, atau gerai ritel lainnya. Kemudian, orang bisa membeli aset properti rumah toko atau rumah tinggal dan menyewakannya sehingga ia memperoleh pendapatan pasif berupa uang sewa setiap tahun.
Terakhir, tentu saja, ia tetap berinvestasi pada asset tak berwujud seperti saham-saham, obligasi, dan reksadana (konvensional dan ETF).
 Oleh: Fredy Sumendap, CFA  

Sumber : IPS