Ipotnews - Permintaan terhadap derivatif mata uang yang menghindari penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) terus meningkat di Asia. Meningkatnya ketegangan dagang mempercepat pergeseran bertahap menjauhi mata uang cadangan devisa utama dunia itu.
Bank dan perusahaan pialang melaporkan adanya lonjakan permintaan transaksi valuta asing yang tidak lagi melibatkan dolar, seperti lindung nilai menggunakan yuan China, dolar Hong Kong, dirham Uni Emirat Arab, dan euro.
Selain itu, permintaan atas pinjaman dalam denominasi yuan juga meningkat, bahkan sebuah bank di Indonesia tengah membentuk divisi khusus untuk mata uang China tersebut.
Mayoritas transaksi valuta asing global masih menggunakan dolar meski hanya memindahkan uang antara dua mata uang lokal. Misalnya, sebuah perusahaan Mesir yang ingin memperoleh peso Filipina biasanya menukarkan mata uang lokalnya ke dolar terlebih dahulu, baru kemudian membeli peso.
Laman Bloomberg, Jumat (9/5) melaporkan, perusahaan-perusahaan kini semakin tertarik pada strategi yang menyingkirkan peran dolar sebagai perantara. Upaya mencari alternatif ini menjadi indikasi semakin banyaknya pihak yang mulai meninggalkan ketergantungan terhadap dolar.
Stephen Jen, analis ternama yang dikenal dengan teori "senyum dolar" ( Dollar Smile Theory ), memperingatkan adanya potensi "longsoran" penjualan dolar senilai USDS 2,5 triliun yang dapat menggoyahkan daya tarik jangka panjang mata uang tersebut.
Pelemahan dolar dalam sepekan terakhir mencerminkan kecemasan jangka pendek atas ketegangan perdagangan. Namun, perubahan struktural dalam penggunaan dolar menunjukkan tren jangka panjang menuju dedolarisasi.
"Peningkatan transaksi antara mata uang non-AS sebagian besar didorong oleh perkembangan teknologi dan meningkatnya likuiditas," kata Gene Ma, Kepala Riset China di Institute of International Finance. "Pelaku pasar merasa nilai tukar yang diperoleh tidak jauh berbeda dari menggunakan dolar AS, sehingga transaksi makin ramai," imbuhnya seperti dikutip Bloomberg.
Wawancara Bloomberg dengan sejumlah karyawan perusahaan dan institusi keuangan di Asia menunjukkan tren bypass terhadap dolar semakin menguat. Institusi keuangan Eropa dan lainnya semakin gencar menawarkan derivatif yuan yang tidak melibatkan dolar AS, menurut seorang eksekutif perusahaan dagang komoditas di Singapura.
Hubungan dagang yang semakin erat antara China, Indonesia, dan kawasan Teluk turut mendorong permintaan lindung nilai non-dolar. Produsen mobil Eropa juga meningkatkan permintaan terhadap lindung nilai euro-yuan, menurut seorang trader institusi keuangan di Singapura.
Di Indonesia, sebuah bank asing dijadwalkan membentuk tim khusus di Jakarta tahun ini guna memenuhi permintaan lokal untuk memfasilitasi transaksi rupiah-yuan. Pergeseran bertahap menjauhi dolar ini mengikis salah satu fondasi perdagangan global.
Selama beberapa dekade, dolar digunakan dalam pembiayaan utang negara berkembang hingga penyelesaian perdagangan. Dolar sebagai mata uang perantara mencakup sekitar 13% volume perdagangan hariannya, menurut estimasi terbaru.
Bahkan sebelum kebijakan dagang Presiden AS Donald Trump yang sulit ditebak menciptakan keresahan baru, penggunaan dolar global sudah mulai dipertanyakan. China telah lama mendorong internasionalisasi yuan dengan menjalin kesepakatan penyelesaian mata uang dengan Brasil, Indonesia, dan negara lainnya, serta mendorong penggunaan yuan secara global.
Kelompok negara-negara BRICS juga telah membahas dedolarisasi. Invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 menambah urgensi sejumlah negara untuk meninggalkan dolar, setelah sanksi terhadap Moskow memunculkan kekhawatiran bahwa dolar telah menjadi "senjata ekonomi".
Meski demikian, sebagian besar pelaku pasar sepakat bahwa peralihan dari dolar akan berjalan perlahan. Belum ada mata uang yang secara realistis dapat menggantikannya. Penggunaan euro dalam transaksi global bahkan menurun dalam dua tahun terakhir, sementara yuan China masih tergolong baru dalam perdagangan internasional di luar lingkup ekonomi Tiongkok.
Yuan digunakan dalam sekitar 4,1% pembayaran global pada Maret lalu, menurut data dari perusahaan pembayaran global Swift - jauh di bawah dominasi dolar yang mencapai 49%. Namun, sebagian transaksi China dilakukan melalui sistem miliknya sendiri yang pertumbuhannya sangat cepat.
Volume tahunan melalui Cross-Border Interbank Payment System ( CIPS ) mencapai 175 triliun yuan (USD24 triliun) pada 2024, meningkat lebih dari 40% secara tahunan. Investor dan pelaku dagang Tiongkok menggunakan yuan dalam persentase tertinggi sepanjang sejarah untuk aktivitas lintas batas pada Maret.
Para eksportir pun mulai menukarkan pendapatan dolar ke yuan dengan lebih cepat, membalik tren sebelumnya yang cenderung menyimpan dolar karena kekhawatiran atas pelemahan yuan.
Ekspor China ke Asia Tenggara melonjak lebih dari 80% dalam lima tahun hingga Maret 2025, sementara ekspor ke Uni Emirat Arab dan Arab Saudi lebih dari dua kali lipat - jauh melampaui pertumbuhan ekspor ke AS dan Uni Eropa.
Meski lindung nilai berbasis yuan umumnya lebih mahal dibanding dolar, suku bunga pinjaman yuan yang rendah menjadikan total biaya tetap kompetitif. "Anda bisa membiayai diri Anda dengan sepertiga dari biaya jika menggunakan dolar," ujar Alicia Garcia Herrero, Kepala Ekonom Asia Pasifik di Natixis. Namun, ia mengingatkan bahwa yuan tetap memiliki keterbatasan karena likuiditasnya di pasar luar negeri masih rendah.
Bloomberg mencatat, biaya lindung nilai terhadap dolar meningkat dalam setahun terakhir, dengan lonjakan sebelum pemilu AS pada November dan kembali meningkat pada April. Permintaan terhadap opsi lindung nilai atas potensi penurunan dolar melonjak drastis. Indeks Bloomberg untuk dolar telah turun sekitar 6% tahun ini, seiring meningkatnya kecemasan atas ketegangan dagang.
Fluktuasi dolar terkait tarif menegaskan bahwa bukan hanya Tiongkok dan kekuatan ekonomi besar lainnya yang merongrong dominasi dolar. Trump telah memberikan sinyal campur aduk terhadap mata uang tersebut - ia kerap mengeluhkan kekuatan dolar, dan menunjuk ekonom Stephen Miran, yang dikenal dengan gagasan reformasi radikal sistem keuangan global berbasis dolar, untuk posisi penting.
Pendekatan Trump terhadap perdagangan, kecenderungannya mengabaikan praktik lama, dan kritik berulang terhadap Federal Reserve turut memperkuat pandangan bahwa dominasi dolar menghadapi ancaman paling serius dalam beberapa dekade.
"Melihat ketangguhan luar biasa dolar selama ini, tampaknya dibutuhkan perubahan besar dalam tatanan global untuk menggantikannya," tulis analis Deutsche Bank termasuk Oliver Harvey. "Namun kini, risiko bahwa perubahan besar itu sedang berlangsung makin nyata." (Bloomberg)


Sumber : admin