Menetapkan Asumsi Besaran Portofolio dan Asumsi Biaya-Biaya Selama Pensiun
Monday, November 14, 2022       18:32 WIB

Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas bagaimana menetapkan asumsi tingkat hasil ( return ) investasi dan asumsi tingkat inflasi. Tingkat hasil investasi harus selalu dilihat relatif terhadap tingkat hasil inflasi pada saat yang sama. Jika tingkat hasil investasi yang dicapai tinggi, tetapi pada saat yang sama tingkat hasil inflasi pada saat itu ternyata lebih tinggi lagi, maka hasil investasi nyata (real) menjadi negatif.
Asumsi besaranportofolio
Jika kita dapat menentukan tingkat hasil investasi portofolio dana pensiun yang kita miliki, maka kita dapat menghitung besaran portofolio yang akan kita capai pada waktu pensiun nanti. Tetapi, apakah besaranportofolio dana pensiun kita telah mencukupi untuk pensiun dengan nyaman (mencapai kebebasan finansial), ditentukan oleh perencanaan pensiun yang kita buat. Tentu saja, kita tidak boleh hanya bergantung pada hasil pengembangan portofolio saja untuk menghitung besaran portofolio pada saat pensiun.
Asumsi besaran portofolio adalah asumsi besarnya dana pensiun yang akan diperoleh pada saat pensiun nanti. Besarnya portofolio dana pensiun yang akan kita capai, adalah penjumlahan dari besarnya investasi bulanan (atau tahunan) yang disetorkan kepada dana pensiun itu dan tingkat hasil pengembangan dana pensiun yang telah terkumpul.
Dana pensiun ini adalah dana pensiun yang kita kumpulkan di luar dana JHT (Jaminan Hari Tua) dari BPJS -TK (Badan Pengelola Jaminan Sosial - Tenaga Kerja) yang diselenggarakan pemerintah atau iuran Dana Pensiun DPPK / DPLK dari perusahaan tempat kita bekerja. Perencanaan pensiun yang kita buat tidak boleh bergantung kepada pemerintah ( BPJS -TK), atau perusahaan tempat kita bekerja ( DPPK atau DPLK ). Dana Pensiun yang kita bentuk sendiri ini dipergunakan untuk membiayai masa pensiun kita sesuai dengan perencanaan pensiun yang kita buat.
Portofolio dana pensiun dapat dibentuk dari tiga macam kelas aset yang berbeda: (1) kelas aset bisnis (perusahaan), (2) kelas aset properti (real estate), dan (3) kelas a set tak berwujud ( intangible assets  atau  paper assets ). Sesuai dengan alokasi aset yang dibuat untuk tiap individu, kelas aset tak berwujud masih dapat dibagi lagi menjadi tiga sub-kelas aset berbeda, yaitu (1) instrumen pasar uang (deposito, SBPU = Surat Berharga Pasar Uang, obligasi yang mendekati jatuh tempo, dan lain-lain), (2) instrumen pendapatan tetap (obligasi), dan (3) instrumen ekuitas (saham-saham).
Instrumen investasi yang selalu mengikuti kenaikan tingkat inflasi adalah pasar uang, seperti deposito berjangka, karena jangka waktunya yang sangat sangat pendek, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan paling lama 12 bulan. Pada kondisi perekonomian normal, maka tingkat inflasi juga normal. Pada kondisi perekonomian seperti itu, tingkat suku bunga deposito berjangka yang ditawarkan perbankan akan sama dengan atau sedikit lebih tinggi daripada tingkat inflasi pada saat itu (berdasarkan prediksi bagian  treasury  bank tersebut).
Berikutnya, adalah investasi pada instrumen pendapatan tetap (obligasi). Tingkat imbal hasil ( return ) instrumen pendapatan tetap (obligasi) berbunga tetap pada waktu obligasi ini pertama kalinya dijual kepada publik, akan bergantung pada jangka waktu obligasi tersebut, di samping pada tingkat resiko yang ada.
Umumnya obligasi di Indonesia berbunga tetap dan berjangka waktu lima tahun atau sepuluh tahun saja. Mengenai tingkat resiko obligasi yang diterbitkan di Indonesia, ada obligasi yang diterbitkan pemerintah RI (peringkat nasionalnya AAA, peringkat internasionalnya bergantung pada peringkat investasi negara Indonesia menurut perusahaan pemeringkat Standard & Poors, Moody's, atau Fitch ratings). Umumnya tingkat imbal hasil ( yield to maturity ) obligasi dengan peringkat AAA dan berjangka waktu lima tahun adalah satu atau dua persen saja di atas tingkat inflas.,
Terakhir, adalah investasi pada instrumen ekuitas. Pada kondisi perekonomian normal, laju pertumbuhan ekonomi suatu negara juga akan diikuti dengan pertumbuhan inflasi. Jadi, berbeda dengan instrumen pendapatan tetap (obligasi) di mana tingkat suku bunga obligasi tidak berubah (tetap) sampai tanggal jauh tempo obligasi tersebut , instrumen ekuitas nilainya akan naik sejalan dengan kenaikan tingkat inflasi. Dikatakan bahwa instrumen ekuitas merupakan sarana lindung nilai ( hedge ) terhadap bahaya inflasi.
Pada kondisi pereknomian nasional yang 'normal', maka tingkat imbal hasil ekuitas rata-rata ( IHSG ), dapat mencapai 5% s/d 15% lebih tinggi dari tingkat inflasi nasional. Tetapi, pada kondisi perekonomian nasional yang tidak normal dimana terjadi ekonomi tidak tumbuh (stagnan) tetapi inflasi tak terkendali (stagflasi = stagnant + inflation), maka formula tingkat hasil rata2 instrumen ekuitas ( IHSG ) sebesar tingkat inflasi ditambah 5% s/d 15% ( equity risk premium ) tidak berlaku,
Lebih lanjut, kita tahu dari pengalaman sebelumnya, bahwa ekonomi nasional tidak selalu berada dalam fase ekspansi. Jadi, mengasumsikan bahwa instrumen ekuitas yang tercermin dari angka IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) akan terus menerus naik, bukanlah asumsi yang masuk di akal.
Adalah lebih masuk di akal jika kita mengasumsikan bahwa perekonomian nasional akan mengalami ekspansi ( IHSG naik) selama 5 (lima) tahun, kemudian disusul dengam periode perekonomian nasional mangalami kontraksi selama satu tahun. Bisa juga kita menambahkan asumsi bahwa setiap periode 20 atau 25 tahun sekali akan terjadi konstraksi besar dalam perekonomian nasioanal di mana IHSG mencatat pertumbuhan negatif selama lebih dari satu tahun.
Hal yang perlu diingat di sini adalah bahwa angka pertumbuhan Indeks IHSG bukan dijumlahkan setiap tahun, tetapi dikalikan. Jadi, misalnya, pada satu tahun perekonomian nasional tumbuh 50% (ekspansi), lalu tahun berikutnya turun 50% (kontraksi). Kalau kita menjumlahkan angka pertumbuhan ekonomi selama dua tahun, akan diperoleh pertumbuhan ekonomi sebesar 0% dalam dua tahun itu, sementara kenyataannya ukuran ekonomi menjadi 150% pada akhir periode ekspansi, dan kemudian turun menjadi 75% pada akhir periode konstraksi.
Asumsi biaya-biaya selama masa pensiun
Biaya-biaya selama masa pensiun yang penting adalah biaya hidup sehari-hari, biaya perawatan kesehatan, dan biaya aktivitas lain yang telah direncanakan akan dilakukan pada masa pensiun, misalnya kegiatan berwiraswasta. Di sini telah diasumsikan bahwa biaya cicilan kredit telah dilunasi (KPR atau KKB), dan pensiunan tidak lagi menanggung biaya pendidikan anak-anaknya yang telah lulus kuliah.
Orang seringkali mengambil asumsi bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan selama masa pensiun adalah 70% s/d 80% biaya yang dikeluarkan selama masih bekerja, Asumsinya adalah bahwa pada masa pensiun, aktivitas telah banyak berkurang. Misalnya, pensiunan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk perjalanan pergi dan pulang kantor, dan aktivitas sosial lainnya yang terkait dengan pekerjaannya.
Asumsi biaya-biaya pada masa pensiun yang dikaitkan dengan tingkat pengeluaran atas biaya-biaya selama masih bekerja, menurut hemat kami, hanya berlaku jika masa pensiun sangat pendek (lalu meninggal). Asumsi bahwa pengeluaran pengeluaran bulanan pensiunan adalah sebesar 70% s/d 80% pengeluarannya sewaktu masih bekerja adalah perhitungan yang sangat kasar dan tidak akurat.
Misalnya, dengan peningkatan usia harapan hidup saat ini, seseorang dapat mengharapkan untuk tetap hidup sampai usia 90 tahun atau bahkan lebih. Artinya, masa setelah pensiun (mengasumsikan orang itu pensiun pada usia 55 tahun, ada sebanyak 35 tahun atau lebih. Tentu saja, kita tidak dapat menggunakan biaya-biaya pada waktu kita masih aktif bekerja sebagai patokan.
Dapat terjadi juga, seseorang memilih pensiun dini (pensiun dipercepat), dimana pada waktu ia mulai pensiun, kondisi fisiknya masih sangat bugar sehingga aktivitas yang dilakukan selama masa pensiun tidak banyak berkurang. Atau, pada waktu pensiun, seseorang dapat memilih untuk mewujudkan cita-citanya menjadi wiraswasta. Tentu saja, biaya-biaya yang akan dikeluarkan oleh orang itu akan tidak jauh berbeda dari biaya-biaya yang dikeluarkannya sewaktu masih bekerja.
Menurut hemat kami, besarnya pengeluaran biaya sehari-hari dalam masa pensiun seseorang akan bergantung pada aktivitasnya pada masa pensiun. Untuk menghitung besarnya biaya yang dikeluarkan pada masa pensiun, kita harus membuat perencanaan pensiun dengan baik.
Bagi keluarga yang termasuk golongan menengah-atas, besarnya pengeluaran biaya makan sehari-hari relatif terhadap total pemasukan (penghasilan) adalah relatif kecil, dibandingkan dengan keluarga dari golongan ekonomi menengah-bawah.
Biaya-biaya dalam masa pensiun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah biaya perawatan kesehatan, karena biaya perawatan kesehatan selalu naik lebih tinggi dari tingkat inflasi. Di samping itu, sudah sifat manusia untuk selalu mencari perawatan kesehatan terbaik yang ada, sehingga pengaruh perkembangan teknologi juga perlu diperhatikan di sini (bukan semata-mata kenaikan tingkat inflasi saja).
Cara paling mudah untuk menghitung biaya perawatan selama masa pensiun adalah dengan membeli asuransi kesehatan. Belilah asuransi kesehatan yang melindungi diri kita dari semua resiko biaya perawatan kesehatan untuk seumur hidup (bukan asuransi kesehatan yang menanggung biaya perawatan kesehatan tahun per tahun). Jadi, biaya perawatan Kesehatan hanya dibayar satu kali atau beberapa kali saja, dan semua resiko kesehatan kita telah ditanggung untuk seumur hidup.
 Oleh: Fredy Sumendap, CFA  

Sumber : IPS