Inflasi Atau Deflasi: Mana yang Lebih Berbahaya dalam Perencanaan Pensiun
Friday, October 18, 2024       16:14 WIB

Kita telah sering mendengar istilah inflasi, tetapi barangkali banyak di antara kita yang belum paham tentang istilah deflasi. Inflasi dapat didefinisikan sebagai kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum dalam suatu periode waktu tertentu (umumnya satu tahun). Deflasi adalah lawan dari inflasi. Jadi, jika terjadi deflasi, maka harga-harga barang dan jasa, secara umum dalam satu periode waktu tertentu, akan mengalami penurunan.
Istilah deflasi berbeda dengan  disinflasi , yang merujuk pada langkah-langkah atau tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi laju kenaikan harga-harga barang dan jasa dalam perekonomian.
Sebagai gambaran atas istilah  inflasi ,  deflasi , dan  disinflasi , andaikan mula-mula terjadi inflasi sebesar 10%. Karena angka inflasi ini dianggap oleh pemerintah terlalu tinggi, maka dilakukan tindakan disinflasi, atau mengurangi laju inflasi, menjadi hanya 6% saja.
Di sini, inflasi masih terjadi, hanya saja kenaikan harga-harga barang dan jasa terjadi pada laju yang lebih rendah. Jadi, jika semula harga-harga barang dan jasa adalah Rp1.000, maka dengan inflasi sebesar 10%, harga-harga barang dan jasa yang sama akan menjadi Rp1.100, dan tindakan disinflasi yang diambil pemerintah membuat harga-harga barang dan jasa menjadi Rp1.060.
Sebaliknya, jika terjadi deflasi, maka harga-harga barang dan jasa secara umum akan mengalami penurunan dalam suatu periode yang ditinjau (biasanya per bulan atau per tahun). Misalnya, dalam contoh di atas, katakanlah terjadi deflasi sebesar -5% per bulan. Di sini, harga-harga barang dan jasa yang semula Rp1,000 akan turun menjadi Rp950 saja dalam satu bulan.
Inflasi yang terlalu tinggi berbahaya bagi perekonomian. Demikian juga dengan deflasi yang terlalu besar dan terjadi berturut-turut dalam waktu yang lama juga berbahaya bagi perekonomian. Pelaku pasar (konsumen, produsen, dan pemerintah) menginginkan tingkat inflasi yang rendah dan stabil.
Sesungguhnya,  sedikit   inflasi  baik untuk perekonomian karena produsen bisa menjual barangnya, dan konsumen tidak terlalu berat menanggung kenaikan harga jual yang diteruskan oleh produsen kepada konsumen. Inflasi yang rendah, stabil dan terkendali tentu juga sangat diharapkan oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Lalu bagaimana dengan deflasi? Apakah semua pelaku pasar menginginkan deflasi?
Sepintas pertanyaan ini terlihat mudah untuk dijawab. Karena inflasi menyebabkan harga-harga barang dan jasa naik, dan deflasi menyebabkan harga-harga barang dan jasa turun, maka seharusnya konsumen lebih senang bila terjadi deflasi karena konsumen bisa membeli lebih banyak barang dan jasa dengan jumlah uang yang sama.
Hal yang sebaliknya terjadi jika dilihat dari sudut pandang produsen. Deflasi membuat harga turun, sehingga konsumen yang terinformasi dengan baik akan menunda untuk melakukan pembelian barang dan jasa yang dihasilkan oleh produsen.
Pada masa deflasi, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan bahwa harga-harga barang dan jasa akan terus turun dan menjadi semakin murah. Jika deflasi terus menerus terjadi dalam waktu yang lama, maka produsen tidak dapat menjual produknya, sehingga kondisi keuangannya akan memburuk.
Jika deflasi terjadi terus menerus dalam waktu yang cukup lama, maka produsen terpaksa menurunkan harga produknya supaya tetap menarik bagi konsumen. Pada kondisi yang ekstrim, produsen harus melakukan PHK atas sebagian karyawannya untuk bisa tetap beroperasi, atau bahkan menutup usahanya.
Dari sudut pandang pemerintah, sebagai pembuat kebijakan publik, deflasi yang tinggi dan terjadi beberapa bulan berturut-turut tidak baik untuk perekonomian negara. Deflasi menyebabkan harga-harga barang turun, sehingga memicu terjadinya PHK pada karyawan, dan jika deflasi berlangsung terus menerus akan menyebabkan tutupnya Perusahaan.
PHK bagi karyawan dan tutupnya Perusahaan berarti tidak ada pihak yang akan membayar pajak bagi negara. Bahkan deflasi yang hanya menyebabkan turunnya volume perdagangan, tetap tidak diinginkan oleh pemerintah karena turunnya volume perdagangan juga berimplikasi penerimaan pajak yang lebih rendah.
(Dalam hal ini, rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12%, menurut hemat kami, hanya akan memperburuk kondisi deflasi yang sudah ada. Daya beli konsumen yang sudah melemah akibat banyaknya PHK yang terjadi, membuat produsen tidak bisa meneruskan kenaikan biaya pajak PPN itu kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga produk, tetapi harus diserap oleh produsen yang kondisi ekonominya juga sedang tidak bagus).
Jadi, jelas di sini bahwa kondisi deflasi tidak diinginkan oleh konsumen (jika deflasi terjadi secara luas, dan berlangsung lama karena memicu PHK dan turunnya jumlah kelas menengah yaitu kelas konsumen itu sendiri), tidak diinginkan oleh produsen (menyebabkan produsen tidak dapat menjual produknya bahkan pada kondisi yang ekstrim, menutup usahanya), dan juga tidak diinginkan oleh pemerintah (menyebabkan turunnya pemasukan dari pajak-pajak).
Dampak deflasi juga seringkali lebih sulit dipahami oleh pelaku pasar, tetapi efek deflasi dapat sangat merusak perekonomian negara (contoh; depresi besar pada 1930 di AS ,   lost decade  tahun 1990-an di Jepang, dan krisis moneter 1998 di Indonesia).  Maka seharusnya deflasi lebih berbahaya dibandingkan inflasi .
Dari sudut pandang perencana keuangan ( financial planner ) yang membuat perencanaan pensiun ( retirement plan ), sering membicarakan tentang bahaya inflasi, tetapi jarang sekali ditemukan perencana keuangan yang membicarakan tentang bahaya deflasi.
Tetapi, kali ini, sebelum mengatakan bahwa deflasi lebih berbahaya dibandingkan inflasi, kita harus melihat pada tahap apa seorang subjek dalam perencanaan pensiun itu berada.
Perencanaan pensiun seringkali dibagi atas dua tahap: (1) Tahap Akumulasi atau tahap pengumpulan dana, dan (2) Tahap Disbursement atau tahap penarikan dana. Tahap akumulasi terjadi sewaktu seorang karyawan masih aktif bekerja, sedangkan tahap penarikan dana ( disbursement ) terjadi setelah seorang karyawan pensiun dan hidupnya mengandalkan penarikan dana pensiun yang telah dikumpulkannya selama periode akumulasi.
Pada tahap akumulasi, selalu ada resiko bahwa subjek perencanaan pensiun yang masih aktif bekerja akan mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sebaliknya, pada tahap penarikan dana (Disbursement), subjek perencanaan pensiun telah berhenti bekerja, sehingga tidak ada lagi resiko mengalami PHK.  Perlu diperhatikan di sini bahwa PHK lebih banyak terjadi pada kondisi deflasi, bukan inflasi .
Dalam tahap akumulasi, tentu saja inflasi yang tinggi akan mengakibatkan  turunnya nilai uang  yang sudah diakumulasikan (ditabung). Jika target pengumpulan dana pensiun dinyatakan dalam satuan benda-benda yang riil (misalnya satu rumah tinggal dengan ukuran LT=x m2, LB = y m2), maka inflasi yang tinggi juga akan menyebabkan target pengumpulan dana ikut beranjak naik, karena nilai harta riil seperti tanah dan bangunan ikut naik bersamaan dengan inflasi. Jadi, jelas di sini bahwa pada tahap akumulasi, jika terjadi inflasi yang tinggi, maka seorang karyawan yang sedang menabung Dana Pensiun akan merasa rugi karena daya beli uang yang dikumpulkannya akan berkurang.
Sebaliknya, jika terjadi deflasi dalam masa akumulasi, maka nilai uang yang telah diakumulasikan (dikumpulkan) karyawan itu akan bertambah daya belinya. Jika target pengumpulan dana pensiun dinyatakan dalam satuan benda-benda yang riil (misalnya satu rumah tinggal dengan ukuran LT=x m2, LB=y m2), maka deflasi akan mengakibatkan taget pengumpulan dana pensiun bergerak turun, sehingga terlihat semakin mudah untuk dicapai.
Jadi, jelas di sini bahwa pada tahap akumulasi, jika terjadi deflasi, maka seorang karyawan yang sedang menabung Dana Pensiun akan merasa diuntungkan karena daya beli uang yang dikumpulkannya akan bertambah. Pada tahap  disbursement  (tahap penarikan dana), inflasi berdampak buruk bagi pensiunan tetapi deflasi sebaliknya menguntungkan bagi pensiunan.
Sekarang kita akan menjawab pertanyaan, dalam perencanaan pensiun, manakah kondisi yang lebih berbahaya: inflasi atau deflasi?
Walau pun keduanya sama-sama berpengaruh buruk bagi perekonomian negara, mengingat bahwa PHK lebih banyak terjadi akibat deflasi dibandingkan inflasi, dan bahwa setelah pensiun tidak mungkin terjadi PHK lagi, maka bagi pensiunan, kami berpendapat bahwa inflasi merupakan bahaya yang lebih besar dibandingkan deflasi.
Sebaliknya, untuk perencanaan pensiun bagi karyawan yang masih aktif bekerja, yang lebih terekspos terhadap resiko PHK, kami berpendapat bahwa deflasi merupakan bahaya yang lebih besar dibandingkan inflasi.
 Oleh: Fredy Sumenbdap CFA 

Sumber : IPS