Dua Mitos dalam Perencanaan Pensiun yang Harus Dihindari
Tuesday, November 08, 2022       19:27 WIB

Pada artikel kali ini tentang perencanaan pensiun, saya akan berbagi cerita tentang dua mitos dalam perencanaan pensiun yang sering dianggap benar oleh sebagian besar orang.
Mitos pertama: aset dalam perencanaan investasi untuk pensiun hanya terdiri dari harta tak berwujud atau  intangible asets  ( paper asets ).
Pada kenyataannya, aset untuk perencanaan pensiun dapat terdiri dari setidaknya tiga macam kelas aset yang berbeda, yaitu bisnis (perusahaan), real estate, dan  paper assets . Ketiga kelas aset ini mempunyai karakteristik yang sangat berbeda. Idealnya, orang yang membuat perencanaan pensiun, memiliki ketiga kelas aset yang berbeda ini (tapi jarang sekali terjadi).
Misalnya, aset berupa bisnis (perusahaan) biasanya membutuhkan perhatian penuh untuk membesarkan dan memeliharanya, tetapi kelas aset ini juga akan memberikan hasil yang paling besar jika berhasil. Kelas aset berupa bisnis (perusahaan) ini biasanya juga adalah kelas aset yang paling tidak likuid (kecuali bisnisnya telah sangat besar dan  go public ).
Kelas aset berikutnya, yang juga tidak likuid, adalah properti ( real estate ). Berbeda dengan kelas aset tak berwujud (saham, obligasi, atau reksadana) yang hanya dapat diperoleh dengan membeli secara tunai (pembelian saham secara  margin  tidak saya hitung sebagai investasi tapi spekulasi di sini), maka kelas aset  real estate  ini hampir selalu diperoleh dengan cara membeli dengan berutang ( leverage ).
Kelas aset real estate juga merupakan kelas aset yang nilainya, pada umumnya, akan ikut naik sejalan dengan inflasi. Jadi, berbeda dengan obligasi yang harganya akan turun jika inflasi naik, maka kelas aset  real estate  ini, pada umumnya, juga merupakan sarana lindung nilai ( hedge ) terhadap bahaya inflasi.
Mitos bahwa kelas aset untuk perencanaan pensiun itu hanya terdiri dari kelas aset tak berwujud ( intangible assets ), kemungkinan muncul karena perencanaan pensiun merupakan bisnis baru yang diperkenalkan oleh para perencana keuangan.
Pada umumnya, pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki oleh para perencana keuangan itu hanya terbatas pada saham-saham, obligasi, atau reksadana ( intangible assets ). Kecil kemungkinan seseorang dari jalur pengusaha (pebisnis) properti, atau agen penjual properti akan banting setir menjadi perencana keuangan ( financial planner ).
Kelas aset berupa harta tak berwujud ( intangible assets ) juga pada umumnya bersifat likuid dan dapat dipecah-pecah menjadi aset lain yang nilainya lebih kecil, sehingga menjadi cocok untuk tujuan perencanaan keuangan. Dalam perencanaan pensiun, portofolio aset milik nasabah akan dibagi-bagi, sesuai dengan alokasi aset untuk nasabah tersebut, menjadi kelas aset ekuitas (saham-saham), kelas aset pendapatan tetap (obligasi), dan kelas aset intrumen pasar uang (deposito, obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari setahun, Surat Berharga Pasar Uang, dll.). Kelas aset tak berwujud ( intangible assets ) atau  paper assets , yang likuid dan mudah dipecah-pecah menjadi bagian yang kecil-kecil, terbukti sangat cocok untuk tujuan alokasi aset.
Mitos ke-dua: hanya ada satu jumlah tertentu aset (portofolio) yang harus dikumpulkan untuk dapat pensiun dengan nyaman.
Mitos ini menyatakan bahwa kita harus menghitung semua penghasilan selama pensiun kita dan mengurangkannya dengan semua biaya-biaya yang akan dikeluarkan selama pensiun. Jika pada waktu pensiun, penghasilan kita lebih besar dibanding pengeluaran yang terjadi, maka kita dapat pensiun dengan nyaman. Karena itu, hal yang perlu dilakukan sekarang adalah berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan dana pensiun sehingga ukuran portofolio investasi kita menjadi cukup besar sesuai dengan alokasi aset yang dibuat perencana keuangan.
Dengan kata lain, sekali kita telah menetapkan asumsi dalam perencanaan pensiun, maka jumlah ukuran dana pensiun (portofolio) yang harus dicapai adalah angka 'sakral' untuk dapat mencapai kebebasan finansial.
Tujuan membuat perencanaan pensiun adalah, dengan demikian, telah direduksi menjadi usaha untuk  mengetahui jumlah aset yang harus dimiliki agar dapat pensiun dengan nyaman . Tetapi, angka jumlah aset (portofolio) yang harus dikumpulkan ini, sama seperti perhitungan lainnya dalam perencanaan pensiun, melibatkan banyak asumsi.  Perhitungan perencanaan pensiun hanya dapat dibuat sama baiknya dengan asumsi yang diambil .
Para pembaca yang ingin mengetahui asumsi-asumsi dalam perencanaan pensiun dapat membaca kembali artikel kami yang sebelumya, yang berjudul ' Menetapkan AsumsiDalam Perencanaan Pensiun',  atau artikel lainnya yang berjudul ' Lima Kesalahan Dalam Perencanaan Pensiun yang Sering Ditemui ' untuk mengetahui ringkasan asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam perencanaan pensiun.
Misalnya, usia harapan hidup kita tidak dapat ditentukan dengan pasti (semua orang pasti setuju dengan saya). Tetapi, menambah usia harapan hidup dengan sepuluh tahun saja (atau bahkan lima tahun saja) akan menambah jumlah biaya-biaya pensiun secara signifikan.
Demikian pula, ketika kita harus menghitung angka pertumbuhan aset kita. Kita bisa saja hanya menggunakan obligasi berbunga tetap ( fixed rate ) dalam portofolio, sehingga kita dapat menggunakan tingkat bunga obligasi itu sebagai acuan tingkat pertumbuhan portofolio kita. Misalkan pula, untuk memudahkan perhitungan, kita membeli obligasi itu pada harga par dan akan memegangnya sampai jatuh tempo.
Tetapi, pertumbuhan ukuran portofolio tidak dapat menjadi ukuran jumlah uang yang dapat dibelanjakan dari portofolio tersebut. Kita masih membutuhkan satu asumsi lagi, yaitu angka inflasi. Angka inflasi telah terbukti sangat sulit untuk diprediksi dengan cukup akurat, bahkan untuk periode satu tahun ke depan saja.
Apalagi sekarang kita harus memprediksi angka inflasi ini untuk periode tiga puluh tahun atau lebih (bergantung pada taksiran usia harapan hidup yang dibuat sebelumnya). Di samping dipakai untuk menentukan tingkat pengambilan dana ( withdrawal rate ) dana pensiun, angka inflasi ini dibutuhkan juga untuk menghitung kenaikan biaya-biaya selama pensiun.
Jelas di sini, bahwa perencanaan pensiun bukan sesuatu yang dapat dibuat dengan akurat seperti halnya ilmu eksakta. Ada satu cara untuk menentukan jumlah dana yang boleh diambil dari dana pensiun kita, yaitu dengan mengurangkan tingkat hasil dari investasi dengan tingkat inflasi. Dengan mengurangkan angka inflasi, maka nilai pokok investasi akan tetap sama (ukuran portofolio tidak akan berkurang) walaupun tingkat inflasi naik.
Jadi, misalkan kita membeli obligasi berbunga 7% pada waktu inflasinya adalah 6%, maka bunga obligasi tersebut yang boleh diambil hanya 7% - 6% = 1% per tahun saja (asumsi harga obligasi tetap karena  hold to maturity ).
Untuk kelas aset lain, misalnya real estate, yang merupakan sarana lindung nilai terhadap inflasi, maka angka inflasi tidak perlu dikurangkan dari pendapatan sewa properti itu (karena nilai properti dianggap akan naik sesuai angka inflasi). Jadi, misalnya pendapatan sewa dari properti adalah 3% per tahun, maka jumlah yang boleh ditarik dari portofolio (tanpa mengurangi daya belinya) adalah tetap 3%.
Hal yang ingin kami tunjukkan di sini adalah bahwa angka atau ukuran portofolio dana pensiun yang harus dicapai untuk mencapai kebebasan finansial (pensiun dengan nyaman), bukanlah angka eksak yang harus dicapai bagaimana pun caranya ( at all cost ). Turunkan angka inflasi menjadi 3% saja, maka ukuran portofolio yang harus dicapai akan berubah drastis. Atau, naikkan angka inflasi menjadi 10% saja, maka jumlah portofolio yang harus dicapai menjadi besar sekali.
Bahkan, jumlah penarikan dana pensiun sebesar bunga obligasi dikurangi angka inflasi menjadi tidak dapat diterapkan, karena angka inflasi sudah lebih tinggi dari bunga obligasi (pokok obligasi harus dikorbankan).
Jadi, yang harus dilakukan bukanlah menambah kerumitan dalam perhitungan ukuran portofolio (misalnya dengan memasukkan perkiraan angka pajak penghasilan obligasi milik perseorangan atau pajak penghasilan atas deposito), dengan tujuan menambah keakuratan perhitungan kita akan jumlah dana pensiun yang harus dimiliki (supaya dapat pensiun dengan nyaman).
 Oleh: Fredy Sumendap, CFA 

Sumber : IPS